HADIS HASAN DAN HADIS SHAHIH
Makalah
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadis
Dosen
pengampu: Ikhrom
Disusun
Oleh:
Tri
Nofiatun : 103611024
Umi
Rofi’atun Nikmah : 103611025
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
HADIS SHAHIH DAN HADIS HASAN
I.
PENDAHULUAN
Berbicara tentang pembagian hadis dari segi
kualitasnya ini tidak dapat dipisahkan dari pembagian hadis menurut segi
kuantitasnya. Hadis ditinjau dari segi kuantitas jumlah para perawi dibagi
menjadi mutawatir dan ahad. Hadis mutawatir jelas kualitasnya
yaitu hadis yang paling shahih sama dengan ilmu dharuri( ilmu yang mudah dipahami semua orang tidak perlu pemikiran
terlebih dahulu) yang wajib diterima. Sekalipun disini tinjauan dari segi
kuantitas, tetapi akan menjadi kualitas, yaitu tidak mungkin terjadi
kesepakatan berbohong di antara mereka. Sedang hadis ahad dengan berbagai macam-macamnya akan dilihat dari segi kualitas
para perawi dalam sanad dan matannya.
Hadis dilihat dari segi kualitasnya terbagi
menjadi dua macam yaitu hadis maqbul
dan hadis mardud. Hadis maqbul adalah hadis yang telah memenuhi
syarat-syarat penerimaan (qabul). Sedangkan yang dimaksud dengan hadis mardud adalah hadis yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadis maqbul.
Hadis maqbul
dapat digolongkan menjadi hadis shohih dan hadis hasan. Sedangkan hadis mardud ada satu yaitu hadis dha’if. Di dalam makalah ini kami akan
membahas mengenai hadis shahih dan
hadis hasan.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa pengertian hadis Shahih dan hadis Hasan?
B.
Apa saja syarat-syarat hadis Shahih dan hadis Hasan?
C. Bagaimana asal-usul
hadis Hasan dan siapa pencetus (founding father) hadis Hasan?
D.
Bagaimana keberhasilan Imam al-Turmudzi dalam
memperjuangkan hadis Hasan sebagai
penengah antara hadis shahih dan
hadis Dhaif?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian hadis Shahih dan hadis Hasan
a. Hadis Shahih
Kata shahih
menurut lughat adalah lawan
dari “saqim”, artinya sehat lawan sakit, haq lawan batil.
Menurut ahli hadis, hadis shahih adalah hadis yang sanadnya
bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai
berakhir pada Rasulullah SAW, atau sahabat atau tabiin, bukan hadis yang syadz ( kontroversi ) dan terkena ‘illat
yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.
Dalam definisi lain, hadis shahih adalah,
ما نقله عدل تام الضبط متصل السندغيرمعلل ولاشاد.
Hadis yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi
yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-‘illat,
dan tidak janggal.[1]
Dalam istilah hadis shahih
adalah:
هو ما ا تصل سنده بنقل العدل الضا بط ضبطا كاملا عن مثله
وخلامن الشدود والعلة
Hadis yang muttashil (bersambung) sanadnya,
diriwayatkan oleh orang yang adil dan dhabith (kuat daya ingatannya) sempurna
dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadzdz), dan cacat (‘illat).[2]
Definisi hadis shahih menurut ibn
shalah:
الحديث الصحيح هو الحديث المسند الدى يتصل اسناده بنقل
العدل الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه ولا يكون شا دا ولا معللا
Hadis shahih ialah hadis yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan Dhabi dari (periwayat) yang adil
dan Dhabi juga hingga akhir (sanad) nya serta tidak terdapat syadz (kejanggalan)dan ‘illat (cacat).
Definisi menurut al-suyuti:
ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شدود ولا علة
Hadis shahih adalah hadis yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan Dhabi, tidak syadz dan
tidak ‘illat.[3]
Dalam definisi lain disebutkan bahwa hadis shahih adalah:
ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله وسلم من شدود وعلة
Hadis yang bersambung-sambung sanadnya yang
dipindahkan (diriwayatkan) oleh orang yang adil dan kokoh ingatan dari yang
seumpamanya, tidak terdapat padanya keganjalan dan cacat-cacat yang
memburukannya.[4]
Contoh hadis shahih:
ما اخرجه البخارى قال حدثنا مسدد حدثنا معتمر قال: سمعت ابي
قال:سمعت انس بن مالك رضي الله عنه قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يقول : اللهم
اني اعود بك من العجز والكسل, والجبن والهرم, واعود بك من فتنة المحيا والممات ,
واعود بك من عداب القبر.
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, ia
berkata memberitakan kepada kami musaddad, memberitakan kepada kami mu’tamil
dia berkata: aku mendengar ayahku berkata: aku mendengar anas bin malik
berkata: nabi SAW berdoa: “ ya Allah sesungguhnya aku mohon perlindungan kepada
engkau dari sifat lemah, lelah, penakut, dan pikun. Aku mohon perlindungan
kepada engkau dari fitnah hidup dan mati dan aku mohon perlindungan kepada
engkau dari adzab kubur.”[5]
b. Hadis Hasan
Kata Hasan,
menurut lughat adalah sifat musybahah dari ‘al-husna’ artinya bagus.
Menurut ibnu hajar, hadis hasan adalah:
خبر الاحادبنقل عدل تام الضدط متصل السندغيرمعلل ولاشاد
Khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil,
kurang sempurna hafalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat,dan tidak syadz.[6]
Definisi hadis hasan menurut Ibnu Taimiyah
adalah hadis yang diriwayatkan dari dua arah ( jalur ), dan para periwayatnya
tidak tertuduh dusta, tidak mengandung syadz
yang menyalahi hadis-hadis sahih.[7]
Menurut Ibnu Hajar hadis hasan
adalah Khabar ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil, kekuatan
ingatannya kurang kokoh, bersambung sanadnya, dengan tanpa ber’illat, dan
syadz.[8]
Dengan kata lain hadis hasan adalah hadis yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang sedikit kedhabitannya tidak
ada keganjalan atau (syadz) dan tidak ada ‘illat.
Contoh hadis hasan:
Artinya: “Hadis yang diriwayatkan at-Turmuzi dan
diriwayatkan Hasan, dari jalan Syu’bah dari Ashim ibn Ubaid Allah dari Abd
Allah ibn Amr ibn Rabiah dari ayahnya, bahwa seorang wanita dai bani Fazarh
kawin dengan mahar sepasang sandal, maka Rasulullah saw bertanya : “Apakah
engkau merelakan dirimu sedangkan kamu hanya mendapat sepasang sandal ?”, maka
wanita tersebut menjawab “rela”, maka rasul pun membolehkannya.”
Pada hadis tersebut di atas terdapat
perawi a’shim, yang dinilai oleh para ulama hadis sebagai perawi yang dhoif karena buruk hafalannya, tetapi At-Tirmizi
mengatakannya sebagai hasan, karena datangnya (dijumpai sanad lain dari) Hadis
tersebut melalui jalan lain.
B. Syarat-Syarat Hadis Shahih dan Hadis Hasan
a. Syarat-Syarat Hadis Shahih
Berdasarkan definisi-definisi di atas,
dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadis shahih
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)
Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam
sanad hadis menerima riwayat hadis dari perawi terdekat sebelumnya. Artinya,
seluruh rangkaian para perawi hadis, sejak perawi terakhir sampai kepada para
sahabat yang menerima hadis langsung dari nabi SAW, bersambung dalam
periwayatan.
Untuk mengetahui bersambung dan tidaknya sesuatu
sanad, harus melalui penelitian sebagai berikut:
1.
Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang
diteliti
2.
Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat
3.
Meneliti kata-kata yang berhubungan antara
periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata
yang terpakai haddasani, haddasana, akhbarana, ‘an anna,
atau kata-kata lainya.
2)
Para Perawinya Bersifat Adil
Menurut bahasa ‘adil berarti lurus, tidak
berat sebelah, tidak dzalim, tidak menyimpang, tulus, dan jujur.
Perawi yang adil adalah perawi yang memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Beragama Islam, yaitu seorang periwayat hadis
haruslah orang yang beragama Islam ketika menyampaikan riwayatnya. Dengan
demikian, orang fasik atau orang kafir tidak dapat diterima periwayatannya.
2.
Berstatus mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh.
Dengan demikian, orang gila, orang lupa, dan anak-anak terlepas dari tanggung
jawab ini.
3.
Melaksanakan ketentuan agama dan meninggalkan
larangannya.
4.
Memelihara muru’ah, yaitu memiliki rasa malu.
Sifat-sifat adil para perawi sebagaimana dimaksud
dapat di ketahui melalui:
1.
Popularitas perawi dikalangkan ulama ahli hadis,
perawi yang terkenal keutamaan pribadinya.
2.
Penilaian dari para kritikus perawi hadis tentang
kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri perawi.
3.
Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil, bila tidak
ada kesepakatan di antara para kritikus perawi hadis mengenai kualitas pribadi
para perawi tertentu.
3)
Para perawinya bersifat Dhabit
Secara bahasa, dhabit berarti
“yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna.”
Secara istilah, dhabit dimaknai sebagai orang yang kuat
hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya
itu kapan saja dia menghendaki.
Dhabit dapat dibedakan
menjadi dua kategori:
a.
Dhabit Shadran
Ialah terpeliharanya periwayatan dalam
ingatan, sejak ia menerima hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain
b.
Dhabit Kitaban
Ialah terpeliharanya kebenaran suatu
periwayatan melalui tulisan.
Menurut para ulama sifat-sifat ke-dhabitan
perawi, dapat diketahui melalui:
1.
Kesaksian para ulama
2.
Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat
dari orang lain yang telah di kenal kedhabitannya.
4)
Matannya
tidak syadz
Hadis
yang tidak syadz adalah hadis yang matannya tidak bertentangan dengan hadis
lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah.
Langkah – langkah untuk
mengetahui suatu hadis shahih dan
tidak syadz adalah:
1.
Semua sanad yang mengambil matan hadis yang masalah
pokoknya sama dijadikan satu kemudian di perbandingkan
2.
Teliti kualitas perawi
3.
Apabila semua perawi tsiqah dan ternyata ada
seorang rawi yang sanadnya menyalahi sanad lain itulah yang disebut syadz.
5)
Matannya tidak ber’illat
Secara
etimologis, ‘illat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan.
Dengan makna ini, maka yang disebut hadis ber’illat adalah hadis-hadis yang ada
cacat atau penyakitnya.
Sedangkan secara terminologis, ‘illat berarti
sebab yang tersembunyi yang merusakan kualitas hadis.
‘Illat hadis, dapat terjadi baik pada sanad maupun
pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad,
seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.[9]
b. Syarat- Syarat Hadis Hasan
Syarat-syarat hadis hasan sebagai
berikut:
1)
Sanadnya bersambung
2)
Perawinya adil
3)
Perawinya dhabit, tetapi ke-dhabitannya di bawah
ke-dhabitan perawi hadis sahih
4)
Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
5)
Tidak ber’illat
C. Asal- Usul Hadis Hasan dan Pencetus (founding
father) Hadis Hasan
Ketika berbicara mengenai sejarah
pengklasifikasian kualitas hadis kebanyakan dari para ahli hadis muta’akhirin
di dalam kitab-kitab ilmu hadis karangan mereka berpendapat bahwa sebelum masa
Imam Abu Isa At-Turmudzi (w. 279 H), istilah hadis Hasan sebagai salah satu bagian dari pengklasifikasian kualitas
hadis belum dikenal di kalangan para ulama ahli hadis. Pada masa itu hadis hanya diklasifikasikan menjadi
dua bagian yaitu hadis shahih dan hadis dho’if. Adapun setelah masa beliau terjadi
perkembangan dalam pengklasifikasian hadis. Pada masa ini, hadis bila ditinjau
dari segi kualitasnya diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu hadis Shahih, hadis Hasan, dan hadis Dhaif.
Dan beliaulah yang pertama kali memperkenalkan hal itu.
Dalam kitab Majmu’
Fatawa Ibn Taimiyah berkata: “Orang yang pertama kali memperkenalkan bahwa
hadis terbagi atas pembagian ini (Shahih,
Hasan, dan Dhaif) adalah Abu Isa
at-Turmudzi dan pembagian ini tidak dikenal dari seorang pun pada masa-masa
sebelumnya. Adapun sebelum masa at-Turmudzi, di kalangan ulama hadis pembagian
tiga kualitas hadis ini tidak dikenal oleh mereka, mereka hanya membagi hadis
itu menjadi shahih dan dhaif.”[10]
D. Keberhasilan Imam al-Turmudzi dalam Memperjuangkan
Hadis Hasan Sebagai Penengah Antara Hadis Shahih dan Hadis Dhaif
Hadis Hasan ialah hadis yang sanadnya
bersambung oleh penukil yang adil namun tidak terlalu kuat ingatannya dan
terhindar dari keganjilan serta penyakit. Untuk menghilangkan keraguan antara hadis
shahih dan hasan yang paling penting adalah batasan bahwa keadilan pada hadis hasan disandang oleh orang yang tidak
begitu kuat ingatannya, sedang pada hadis shahih
melekat pada rawi yang benar-benar kuat ingatannya. Tetapi keduanya bebas
dari keganjilan dan penyakit keduanya bisa digunakkan sebagai hujjah dan kandungannya dapat dijadikan
penguat.
Kriteria hadis hasan hampir
sama dengan kriteria hadis shahih.
Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabithannya. Hadis shahih kedhabithan seluruh perawinya
harus tamm (sempurna), sedang dalam hadis hasan
kurang sedikit kedhabithannya jika dibandingkan dengan hadis shahih. Tetapi jika dibandingkan
dengan kedhabithan perawi hadis dha’if
tentu belum seimbang, hadis hasan lebih
unggul.
Menurut perkataan Syaikh Islam Tirmidzi telah membedakan antara hadis Shahih dan hadis Hasan dalam dua hal, yaitu:
1. Bahwa
derajat perawi hadis hasan haruslah berada
dibawah derajat perawi hadits Shahih.
Tetapi pada perawi hasan lidzatihi tidak
boleh tertuduh atas kebohongan, mastur, majhul dan sebagainya. sedangkan perawi Shahih haruslah seorang terpercaya (tsiqoh) dan perawi hasan lidzatihi harus mempunyai sifat Dzobd (tepat) tetapi itu
saja tidak cukup harus tidak tertuduh atas kebohongan.
2. Jalur
perawi tidak hanya satu, seperti halnya yang diungkapkan oleh Tirmidzi dalam
masalah ‘ilal dalam bukunya.
Naiknya hadis hasan ke derajat shahih
bila suatu hadis hasan
diriwayatkan dari jalur lain, maka ia menjadi kuat dan naik dari derajat hasan menuju derajat shahih. Karena perawi
hadits hasan berada di bawah derajat perawi yang sempurna hafalannya, namun
tetap berstatus adil.[11]
At- Tirmidzi
adalah orang yang pertama memperkenalkan pembagian hadis dari segi kualitas
kepada shahih, hasan, dan dhaif. Menurut At-Tirmidzi hadis hasan adalah hadis yang berbilangan jumlah sanadnya dan
tidak terdapat seorang perawi yang tertuduh dusta dan ganjil (syadz). Tingkatan
hadis Hasan berada di bawah hadis shahih dan di atas hadis dhaif. Hadis shahih yang dikenal para perawinya sebagai orang-orang yang adil
dan dhabit. Sedang hadis dhaif adalah
hadis yang dikenal perawinya seorang yang tertuduh dusta atau tidak baik
hafalannya.[12]
At-Tirmidzi
memunculkan istilah hadis hasan ini,
karena ia melihat banyak jenis hadis dhaif
(yang sebenarnya tidak terlalu dhaif),
sementara dari sisi sanad dan matannya hampir mendekati shahih (tetapi tidak termasuk hadis shahih). Ia tidak ingin menyamakannya dengan hadis dhaif dan juga tidak ingin menyebutnya
dengan hadis shahih. Maka diambillah
jalan tengah, yang disebut dengan hadis hasan.[13]
IV.
KESIMPULAN
Dari pembahasan d atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.
Hadis shahih
adalah hadis yang bersambung-sambung sanadnya yang dipindahkan (diriwayatkan)
oleh orang yang adil dan kokoh ingatan dari yang seumpamanya, tidak terdapat
padanya keganjalan dan cacat-cacat yang memburukannya.
Hadis hasan adalah Hadis yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang adil, kurang sedikit
kedhabitannya tidak ada keganjalan atau (syadz) dan tidak ada ‘illat.
2.
Syarat-syarat hadis shahih adalah sanadnya bersambung, perawinya bersifat adil,
perawinya bersifat dhabit, tidak syadz (janggal), tidak ber’illat. Sedangkan
syarat-syarat hadis hasan hampir sama
dengan hadis shahih hanya saja
kedhabitan perawi pada hadis hasan di bawah kedhabitan perawi hadis shahih.
3.
Orang yang pertama kali memperkenalkan istilah hadis
hasan adalah Imam At-Tirmidzi, beliau
membagi hadis berdasarkan segi kualitas perawinya menjadi hadis shahih, hadis hasan dan hadis dhaif.
4.
At-Tirmidzi menjadikan hadis hasan sebagai jalan tengah bagi hadis shahih dan hadis dhaif,
karena banyak jenis hadis dhaif (yang sebenarnya tidak terlalu dhaif), sementara dari sisi sanad dan matannya hampir mendekati shahih(tetapi tidak termasuk hadis shahih).
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, tentunya dalam makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran kami harapkan dari para pembaca ,
guna memotivasi kami untuk menjadi lebih baik dalam pembuatan makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan
para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Muhammadiyah. Ilmu Hadis. Jakarta:
Graha Guru. 2008.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi,
Teungku. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
2009.
Ichwan, Mohammad Nor. Studi
Ilmu Hadis. Semarang: Rasail Media. 2007.
Khon, Abdul Masjid. Ulumu
Hadis. Jakarta: Amzah. 2009.
Solahudin, Agus. Ulumu
Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2009.
Priswinanti, “ Peranan Imam Turmudzi dalam Pembukuan
Hadis Hasan”, http://tafsirpink.blogspot.com/2010/12/imam-turmudzi-dan-peranannya-dalam.html.
[1] Agus Solahudin, Ulumul Hadis, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009), hlm. 141.
[2] Abdul Masjid Khon, Ulumu Hadis,
(Jakarta: Hamzah, 2009), hlm. 149.
[3] Muhammadiyah Amin, Ilmu Hadis,
(Yogyakarta:Graha Guru, 2008), cet.1, hlm. 165.
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, (
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 162
[5] Abdul Masjid Khon, op.cit., hlm. 154.
[6] Agus Solahudin, op.cit., hlm. 146.
[7] Muhammadiyah Amin, op.cit., hlm. 173.
[8] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis,
(Semarang:Rasail Media Grup, 2007), cet.1,
hlm. 131.
[9] Mohammad Nor Ichwan, Op.Cit., hlm.
124-127.
[10]
Priswinanti,
“ Peranan Imam Turmudzi dalam Pembukuan Hadis Hasan”, http://tafsirpink.blogspot.com/2010/12/imam-turmudzi-dan-peranannya-dalam.html, hlm.6.
[11] Priswinanti, Ibid., hlm. 3.
[12] Abdul Masjid Khon, op.cit., hlm.
162-163
[13] Muhammadiyah Amin, op.cit., hlm. 174.
0 komentar:
Posting Komentar