PESERTA DIDIK DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
I.
PENDAHULUAN
Dengan berpijak pada paradigma “ belajar
sepanjang masa”, maka istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut
ilmu adalah peserta didik dan bukan anak didik. Peserta didik cakupannya lebih
luas, yang tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga pada orang-orang
dewasa. Sementara istilah anak didik hanya dikhususkan bagi individu yang
berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa
lembaga pendidikan tidak hanya di sekolah ( pendidikan formal), tapi juga
lembaga pendidikan di masyarakat, seperti Majelis Taklim, Paguyuban, dan
sebagainya.
Sama halnya dengan teori Barat, peserta
didik dalam pendidikan Islam adalah individu sedang tumbuh dan berkembang, baik
secara fisik, psikologis, sosial dan religius dalam mengarungi kehidupan di
dunia dan di akhirat kelak.[1]
Dalam hal ini, peserta didik merupakan individu yang belum dewasa, yang
karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak kandung
adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah,
anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat sekitarnya, dan umat
beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa Definisi
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam?
2.
Bagaimana
Paradigma Peserta Didik dalam Pendidikan Islam?
3.
Apa Saja Sifat-
sifat dan Kode Etik Peserta Didik dalam Pendidikan Islam?
III.
PEMBAHASAN
1.
Definisi
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Dalam istilah tasawuf, peserta didik
sering kali disebut dengan murid atau thalib. Secara etimologi, murid berarti “orang
yang menghendaki”. Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah pencari
hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual ( mursyid).
Sedangkan thalib secara bahasa berarti orang yang mencari, sedang menurut
istilah tasawuf adalah penempuh jalan spiritual, dimana ia berusaha keras
menempah dirinya untuk mencapai derajat sufi.[2]
Penyebutan murid ini
juga dipakai untuk menyebut peserta didik pada sekolah tingkat dasar dan
menengah, sementara untuk perguruan tinggi lazimnya disebut dengan mahasiswa (
thalib).
Istilah murid atau thalib ini sesungguhnya
memiliki kedalaman makna dari pada penyebutan siswa. Artinya, dalam proses pendidikan
itu terdapat individu yang secara sungguh- sungguh menghendaki dan mencari ilmu
pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa istilah murid dan thalib menghendaki
adanya keaktifan pada peserta didik dalam proses belajar mengajar, bukan pada
pendidiknya. Namun, dalam pepatah dinyatakan : “ tiada tepuk sebelah tangan”.
Pepatah ini mengisyaratkan adanya active learning bagi peserta didik dan
active teaching bagi pendidik, sehingga kedua belah pihak menjadi “
gayung bersambung” dalam proses pendidikan agar tercapai hasil secara maksimal.
2.
Paradigma
Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Dalam
proses belajar mengajar, seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami
hakikat peserta didiknya sebagai subjek dan objek pendidikan. Kesalahan dalam
memahami hakikat peserta didik menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan.
Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah :[3]
Ø Peserta
didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode
belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa. Orang dewasa tidak
patut mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi segala aturan dan
keinginannya, sehingga peserta didik kehilangan dunianya, maka hal itu dapat
menjadikan kehampaan hidup di kemudian hari.
Ø Peserta
didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal
mungkin.
Kebutuhan
individu, menurut Abraham Maslow, terdapat 5 hierarki kebutuhan yang
dikelompokkan kedalam 2 kategori, yaitu:
1)
Kebutuhan-
kebutuhan taraf dasar ( basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman
dan terjamin, cinta dan ikut memiliki
(sosial) dan harga diri.
2)
Metakebutuhan
(meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri, seperti
keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, dan kesatuan. Pemenuhan kebutuhan
manusia memiliki tingkat kesulitan yang hierarkis. Kebutuhan yang berada pada
hierarki paling bawah akan mudah dicapai oleh semua manusia, namun kebutuhan
yang berada pada hierarki paling atas tidak semua dicapai oleh manusia.
Pemenuhan kebutuhan yang dapat mengakibatkan kepuasan hidup adalah pemenuhan
metakebutuhan, sebab pemenuhan kebutuhan ini untuk pertumbuhan yang timbulnya
dari luar diri (eksternal). Sedangkan, pemenuhan kebutuhan dasar hanya
diakibatkan kekurangan yang berasal dari dalam diri ( internal).
Ø Peserta
didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik
perbedaan yang disebabkan dari faktor endogen (fitrah) maupun eksogen
(lingkungan) yang meliputi segi jasmani, inteligensi, sosial, bakat, minat dan
lingkungan yang memengaruhinya. Dalam teori psikologi,[4] terdapat
tiga bagian tentang individu : seperti semua orang lain, yang karenanya perlu
perlakuan pendidikan yang sama satu dengan yang lain; seperti sejumlah orang
lain, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang berbeda antara anak yang
umum (kecerdasannya rata-rata) dengan yang khusus (sangat cerdas/ bodoh);
seperti tidak seorang lain pun, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang
berbeda antara individu satu dengan yang lain.
Ø Peserta
didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai dengan hakikat manusia,
peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi peserta didik walaupun
terdiri dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa, dan
karsa)
Ø Peserta
didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan
dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik memiliki aktivitas
sendiri (swadaya) dan kreativitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam
pendidikan tidak memandang anak sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima
dan mendengarkan saja.
Ø Peserta
didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola
perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam pendidikan adalah
bagaimana proses pendidikan itu dapat disesuaikan dengan pola dan tempo, serta
irama perkembangan peserta didik. Kadar kemampuan peserta didik sangat
ditentukan oleh usia atau periode perkembangannya, karena usia itu bisa
menentukan tingkat pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik,
baik dilihat dari dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktis. Dalam
psikologi perkembangan disebutkan bahwa periodesasi manusia pada dasarnya
dibagi menjadi lima tahapan, [5]
yaitu:
·
Tahap Asuhan (
usia 0-2 tahun)
Pada
tahap ini, individu belum memiliki kesadaran dan daya intelektual, ia hanya
mampu menerima rangsangan yang bersifat biologis dan psikologis melalui air
susu ibunya. Pada fase ini belum dapat diterapkan interaksi edukasi secara
langsung, karena itu proses edukasi dapat dilakukan dengan cara: memberi azan
di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri ketika baru lahir, memotong akikah,
dua kambing untuk bayi laki-laki dan satu kambing untuk bayi perempuan, memberi nama yang baik, membiasakan hidup yang bersih, suci dan sehat, memberi
ASI sampai usia 2 tahun, memberi makanan dan minuman yang halal dan bergizi
(thayyib).
·
Tahap Pendidikan Jasmani dan Pelatihan Pancaindra (usia
2-12 tahun)
Pada
tahap ini, anak mulai memiliki potensi-potensi biologis, paedagogis, dan
psikologis. Karena itu, pada tahap ini mulai diperlukan adanya pembinaan,
pelatihan bimbingan, pengajaran, dan pendidikan yang disesuaikan dengan bakat
dan kemampuannya. Proses pembinaan dan pelatihan lebih efektif lagi bila anak
telah menginjak usia sekolah dasar.
Hal
tersebut karena pada fase ini, anak mulai aktif dan memfungsikan
potensi-potensi inderanya walaupun masih pada taraf pemula. Proses edukasi
dapat diterapkan dengan penuh kasih sayang. Perintah dan larangan disajikan
dalam bentuk cerita-cerita yang menarik dan memberikan kesimpulan untuknya,
serta melatih anak untuk melakukan aktivitas positif yang dapat membiasakan
dirinya dengan baik bila kelak menginjak fase berikutnya, seperti pepatah Arab
yang menerangkan:
مَنْ
شَبَّ عَلَى شَيْئٍ شَا بَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang membiasakan sesuatu (di hari
mudanya), maka ia akan terbiasa olehnya (di hari tuanya)”.
Tugas
pendidikan pada fase ini adalah menumbuhkan potensi-potensi indra dan
psikologis, seperti pendengaran, penglihatan, dan hati nurani. Tugas orang tua
adalah bagaimana mampu merangsang pertumbuhan berbagai potensi tersebut, agar
anaknya mampu berkembang secara maksimal. Firman Allah SWT : “Dan Allah
mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui
apa-apa, dan ia memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati sanubari agar
kamu mau bersyukur.”
Mempersiapkan
diri dengan cara membiasakan dan melatih hidup yang baik, seperti dalam
berbicara, makan, bergaul, penyesuaian diri dengan lingkungan dan berperilaku.
·
Tahap Pembentukan Watak dan Pembentukan Agama (usia 12-20
tahun)
Fase ini disebut
juga fase tamyiz, yaitu fase dimana anak mulai mampu membedakan yang
baik dan buruk, benar dan salah . Atau fase baligh (mukallaf) dimana ia telah
sampai berkewajiban memikul beban taklif Allah SWT.
Tugas pendidikan
adalah mengubah persepsi konkret peserta didik menuju pada persepsi yang abstrak,
misalnya persepsi mengenai ide-ide ketuhanan, alam akhirat dan sebagainya.
Pengembangan ajaran-ajaran normatif agama melalui institusi sekolah, baik yang
berkenaan dengan aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik
·
Tahap Pematangan (usia 20-30 tahun)
Pada tahap ini,
anak telah beranjak dewasa, yaitu dewasa dalam arti sebenarnya, mencakup
kedewasaan biologis, sosial, psikologis, dan kedewasaan religius. Pada fase ini
mereka sudah mempunyai kematangan dalam bertindak, bersikap, dan mengambil
keputusan untuk menentukan masa depannya sendiri.
Oleh karena
itu, proses edukasi dapat dilakukan dengan memberi pertimbangan dalam
menentukan teman hidupnya yang memiliki ciri mukafaah (ideal) dalam aspek
agama, ekonomi, sosial dan sebagainya. Pemilihan pasangan hidup yang ideal akan
mencetak calon pendidik di rumah tangga kelak yang bertanggungjawab atas
pendidikan anak kandung di rumah.[6]
·
Tahap Kebijaksanaan (30-meninggal)
Menjelang
meninggal, fase ini lazimnya disebut fase azm al –‘umr (lanjut usia)
atau syuyukh (tua).
Pada tahap ini, manusia telah menemukan jati dirinya
secara hakiki, sehingga tindakannya penuh dengan kebijaksanaan yang mampu
memberi naungan dan perlindungan bagi orang lain. Proses edukasi bisa dilakukan
dengan cara mengingatkan agar mereka berkenan bersedekah atau zakat apabila ia
lupa, serta mengingatkan harta dan anak yang dimiliki agar selalu
didarmabaktikan kepada agama, negara, dan masyarakat sebelum menjelang
hayatnya.
3.
Sifat-
sifat dan Kode Etik Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Sifat-sifat dan kode
etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses
belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Al-Ghazali, yang
dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman,[7]
merumuskan sebelas pokok sifat dank ode etik peserta didik, yaitu:
·
Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada
Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk
menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli)
dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahalli).
·
Mengurangi
kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi. Maksudnya, belajar tak
semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tapi juga belajar ingin berjihad
melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di
hadapan manusia dan Allah SWT.
·
Bersikap
tawadlu’(rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk
kepentingan pendidiknya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan
kecerdasan itu pada pendidiknya, termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang
IQ-nya lebih rendah.
·
Menjaga pikiran
dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus dan
dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
·
Mempelajari ilmu-ilmu
yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrawi maupun untuk duniawi, serta
meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan
diri kepada Allah, sementara ilmu tercela akan menjauhkan dari-Nya dan
mendatangkan permusuhan antarsesamanya.
·
Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai
pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari
ilmu yang fardlu ‘ain menuju ilmu yang fardlu kifayah.
·
Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada
ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan
secara mendalam. Dalam konteks ini,spesialisasi jurusan diperlukan agar peserta
didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus.
·
Mengenal
nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan
objektivitas dalam memandang suatu masalah.
·
Memprioritaskan
ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah SWT.,sebelum
memasuki ilmu duniawi.
·
Mengenal
ilmu-ilmu pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat
dapat membahagiakan, menyejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia
akhirat.
·
Peserta
didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit
kepada dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode madzhab yang diajarkan
oleh pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik
untuk mengikuti kesenian yang baik.
Menurut
Ibnu Jama’ah, yang dikutip oleh Abd al-Amir Syams al-Din, [8]
etika peserta didik terbagi atas tiga macam, yaitu: 1. Terkait dengan diri
sendiri, meliputi membersihkan hati, memperbaiki niat atau motivasi, memiliki
cita-cita dan usaha yang kuat untuk sukses, zuhud ( tidak materialistis). Dan
penuh kesederhanaan; 2. Terkait dengan pendidik, meliputi patuh dan tunduk
secara utuh memuliakan dan menghormatinya, senantiasa melayani kebutuhan
pendidik dan menerima segala hinaan atau hukuman darinya; 3. Terkait dengan
pelajaran, meliputi berpegang teguh secara utuh pada pendapat pendidik,
senantiasa mempelajarinya tanpa henti, mempraktikan apa yang dipelajari dan
bertahap dalam menempuh suatu ilmu.
Ali bin
Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam, yang
merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan.
Syarat yang dimaksud sebagaimana dalam syairnya:[9]
اَلاَلاَ
تَنَا لُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِسِتَّةٍ
سَاُ
نْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَا نٍ
ذُكَا
ءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ
وَاِرْشَا
دِ اُسْتَا ذٍ وَطُوْلِ الزَّ مَا نٍ
“Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena
enam syarat; aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu kecerdasan,
hasrat atau motivasi yang kuat, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa
yang panjang (kontinu)”.
Dari syair
tersebut dapat dipahami bahwa syarat-syarat pencari ilmu adalah mencakup enam
hal, yaitu:
a. Memiliki
kecerdasan (dzaka’); yaitu penalaran, imajinasi, wawasan (insight),
pertimbangan, dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang dilakukan secara
cepat dan tepat. Kemudian, kecerdasan berkembang menjadi tiga pengertian,
diantaranya: 1. Kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi
baru secara cepat dan efektif; 2. Kemampuan menggunakan konsep abstrak secara
efektif, yang meliputi empat unsur, seperti memahami, berpendapat, mengontrol,
dan mengkritik; 3. Kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan
cepat sekali.[10]
b. Memiliki
hasrat (hirsh), yaitu kemauan, gairah, moril, dan motivasi yang tinggi
dalam mencari ilmu, serta tidak merasa puas terhadap ilmu yang diperolehnya.
Sedangkan motivasi pendidikan disini adalah keseluruhan dorongan, keinginan,
kebutuhan, dan daya yang sejenis yang mengarahkan perilaku dalam pendidikan. Motivasi
pendidikan juga diartikan sebagai satu variabel penyelang yang digunakan untuk
menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme yang membangkitkan,
mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah lakumenuju satu sasaran
pendidikan.
c. Bersabar
dan tabah (ishtibar) serta tidak mudah putus asa dalam belajar, walaupun
banyak rintangan dan hambatan. Sabar menjadi kunci bagi keberhasilan dalam
belajar, karena sabar merupakan inti dari kecerdasan tidak dibarengi oleh
kecerdasan emosional ( seperti sabar) maka ia tidak memperoleh apa-apa.
d. Mempunyai
seperangkat modal dan sarana (bulghah) yang memadai dalam belajar. Dalam
hal ini, biaya dan dana pendidikan menjadi penting, yang digunakan untuk
kepentingan peserta didik. Perolehan ilmu bukan didapat secara gratis, karena
profesionalisme pendidikan melibatkan sejumlah kegiatan dan sarana yang
membutuhkan biaya.
e. Adanya
petunjuk pendidik (irsyad ustadz), sehingga tidak terjadi salah
pengertian terhadap apa yang dipelajari. Dalam belajar, seseorang dapat
melakukan metode autodidak, yaitu belajar secara mandiri tanpa bantuan
siapapun. Sekalipun demikian, pendidikan masih tetap berperan pada peserta didik
dalam menunjukkan bagaimana metode belajar yang efektif berdasarkan pengalaman sebagai
seorang dewasa, serta yang terpenting pendidik sebagai sosok yang perilakunya
sebagai suri teladan bagi peserta didik.
f. Masa
yang panjang (thuwl al-zaman), yaitu belajar tiada henti dalam mencari
ilmu (no limits to study) sampai pada akhir hayat, min mahdi ila lahdi (dari
buaian sampai liang lahat). Syarat ini berimplikasikan bahwa belajar tidak
hanya di bangku kelas atau kuliah, tetapi semua tempat yang menyediakan
informasi tentang pengembangan kepribadian, pengetahuan, dan keterampilan
adalah termasuk juga lembaga pendidikan.
IV.
KESIMPULAN
Dari hasil pemaparan di
atas, dapat diambil kesimpulan bahwa:
V.
PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat, mudah-mudahan dengan
adanya makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat bagi kita semua.
Untuk kesempurnaan makalah ini, kami selaku pemakalah mengharap kritik dan
saran yang membangun untuk makalah yang lebih baik selanjutnya.
Kami selaku
pemakalah mohon maaf atas kekurangan dan kesempurnaan makalah ini. Untuk
perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Zarnuzi, Burhan Al-Islam. Terjemah Ta’lim
al-Muta’allim fi Thariq al-Ta’allum. Surabaya: Salim Nabhan.t.th..
Hal.15.
Amstrong, Amatullah. Khazanah Istilah Sufi :
Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung : Mizan. 1998. Hal. 197.
Chaplin,J.P. Kamus Lengkap
Psikologi. terj. Kartini Kartono. judul asli : Dictionaryof
Psychology. Jakarta : Rajawali Pers. 1999. Hal. 253.
Nawawi, Hadari. Organisasi
Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta : Haji Masagung. 1985. Hal. 128.
Supratiknya, A. Teori-teori
Psikodinamik. Yogyakarta : Kanisius. 1993. Hal. 5.
Suwarno. Pengantar
Ilmu Pendidikan. Jakarta : Aksara Baru. 1982. Hal. 79-
85.
Zainuddin
dkk. Seluk- Beluk Pendidikan
dari Al-Ghazali. Jakarta : Bumi Aksara.
1991. Hal. 69.
[1]
Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan
Pengelolaan Kelas, Jakarta : Haji Masagung, 1985, Hal. 128.
[2] Amatullah Amstrong, Khazanah Istilah Sufi :
Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Bandung : Mizan, 1998, Hal. 197.
[3] Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan,
Jakarta : Aksara Baru, 1982, Hal. 79- 85.
[4] A. Supratiknya, Teori-teori Psikodinamik,
Yogyakarta : Kanisius, 1993, Hal. 5.
[5] Zainuddin dkk., Seluk- Beluk Pendidikan
dari Al-Ghazali, Jakarta : Bumi Aksara, 1991, Hal. 69.
[7] Fathiyah Hasan Sulaiman, al-Madzhab al-Tarbawi ‘Inda al-Ghazali,
Kairo: Maktabah Misriyah, 1964, Hal.52-58.
[8] Abd
Al-Amir Syams Al-Din, al Madzhab al
Tarbawi ‘Inda Ibnu Jama’ah, Beirut: Dar Iqra’, 1984, Hal. 28-40.
[9]
Burhan Al-Islam
Al-Zarnuzi, Terjemah Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq al-Ta’allum,
Surabaya: Salim Nabhan,t.th., Hal.15.
[10] J.P.Chaplin,
Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, judul asli : Dictionaryof
Psychology, Jakarta : Rajawali Pers, 1999, Hal. 253.
0 komentar:
Posting Komentar