MU’TAZILAH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Tauhid
Dosen Pengampu : Arikhah, M.Ag.
Disusun Oleh:
TRI
NOFIATUN
103611024
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2010
MU’TAZILAH
I.
PENDAHULUAN
Munculnya teologi-teologi islam didahului dengan persoalan
orang berbuat dosa, yang kemudian menjadi pengaruh besar dalam pertumbuhan
teologi selanjutnya dalam islam. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi
dalam islam, diantara teologi tersebut adalah aliran atau kaum Mu’tazilah
sebagai aliran ketiga.
Kaum Mu’tazilah beranggapan bahwa orang yang berdosa besar
bukan kafir tetapi pula bukan mukmin. Orang yang serupa ini terkenal dengan
istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi) yaitu
posisi mukmin dan kafir.
Kaum Mu’tazilah terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal
yang mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani Klasik itu. Pemakaian
dan kepercayaan pada rasio ini dibawa oleh kaum Mu’tazilah ke dalam lapangan
teologi islam dan dengan demikian teologi mereka mengambil corak teologi
liberal, dalam arti bahwa sungguhpun kaum Mu’tazilah banyak mempergunakan
rasio, mereka tidak meninggalkan wahyu.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasio ini mendapat tantangan
keras dari golongan tradisional islam, terutama golongan Hambal. Politik
menyiarkan aliran Mu’tazilah secara kekerasan berkurang setelah al-ma’mun
meninggal di tahun 833, dan akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi
dari negara dibatalkan oleh khalifah al-mutawakkil di tahun 856 M. dengan
demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kedudukan mereka semula, tetapi kini
mereka telah mempunyai lawan yang bukan sedikit dikalangan umat islam.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apakah pengertian Mu’tazilah?
B.
Bagaimana latar belakang
munculnya Mu’tazilah?
C.
Apakah faktor pendorong
lahirnya aliran Mu’tazilah?
D.
Apakah dasar-dasar dan
aliran-aliran dalam Mu’tazilah
E.
Tokoh-tokoh aliran islam
F. Apakah karya dan pokok pikiran yang dihasilkan para tokoh aliran
mu’tazilah
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada
persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan,
mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis
Islam”.
Menurut al-Baghdadi, wasil dan temannya, Amr ibn ‘Ubaid ibn
Bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara
mereka mengenal persoalan qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya
menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan mereka serta pengikut-pengikutnya
disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari faham umat islam
tentang soal orang yang berdosa besar.[1]
Dalam buku lain aliran mu;’tazilah didefinisikan sebagai
suatu pergerakan yang menekankan kepada dasar rasional bagi prinsip-prinsip
dasar kepercayaan agama.[2]
Menurut mereka orang serupa ini tidak mukmin dan pula tidak
kafir atau mereka berada pada posisi tengah.[3]
Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebut
bahwa Qatadah ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke masjid Basrah dan menuju ke
majelis ‘Amr ibn ‘Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan al-Basri. Setelah
ternyata bagiannya bahwa itu bukan majlis Hasan al-Basri ia berdiri dan
meninggalkan tempat itu, sambil berkata: “Ini kaum Mu’tazilah”. Semenjak itu,
kata Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.
Menurut Al-Mas’udi, mereka disebut kaum Mu’tazilah karena
mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan bykan pula
kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (al-manzilah bain
al-manzilatain).[4]
B.
Latar Belakang
Munculnya Mu’tazilah
Nama Mu’tazilah sudah terdapat jauh sebelum adanya [peristiwa
pertikaian pendapat tentang sikap teolog (ahli kalam) terhadap pendosa besar.
Nama ini diperuntukkan bagi golongan yang tidak mau ikut campur tangan dalam
pertikaian politik di zaman khalifah Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Ali Thalib.
Mereka menjauhkan diri dari golongan-golongan yang saling bertikai. Golongan
yang menjauhkan diri ini telah terekam dalam buku-buku sejarah islam.
Mu’tazilah ini dialifasikan kepada mereka yang telah
mengasingkan diri dan meninggalkan kancah pertikaian politik ketika Hasan bin
Ali menyerahkan jabatan khalifah sepenuhnya kepada mu’awiyah. Mereka
mengasingkan diri dari Hasan, Muawiyah dan orang kebanyakan.
Namun al-Nasyir menjelaskan secara lain bahwa nama Mu’tazilah
itu menurutnya timbul dalam lapangan pertentangan politik islam, terutama
antara Ali dan Muawiyah. Argumentasi yang diajukan oleh An-Nasyr ialah bahwa
kata-kata I’tazala dan al-Mu’tazilah terkadang dipakai untuk orang yang pada
kenyataannya menjauhkan diri dari masyarakat umum dan memusatkan pada ilmu dan
ibadah.
Jadi, menurut an-Nasyr, golongan “Mu’tazilah kedua” adalah
dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk Ilmu dan ibadah., dan bukan dari
golongan Mu’tazilah yang dikatakan merupakan aliran politik.[5]
C.A Nallino, seorang orientalis Itali mempunyai pendapat yang
hampir sama dengan Ahmad Amin. Berdasarkan pada versi Mas’udi tersebut
sebelumnya, ia berpendapat bahwa nama Mu’tazilah sebenarnya tidak mengandung
arti “memisahkan diri dari umat islam lainnya” sebagai yang terkandung dalam
versi yang diberikan al-Syahrastani al-Baghdadi dan Tasy Kubra Zadah.
Asal-usul nama Mu’tazilah sebenarnya memang sulit, yang jelas
ialah bahwa nama Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasionil dan
liberal dalam Islam timbul sesudah peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri di
Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu telah pula
terdapat kata-kata ptazala, al-Mu’tazilah.
Selain dengan nama Mu’tazilah golongan ini juga dikenal
dengan nama-nama lain. Mereka sendiri selalu menyebut golongan mereka sebagai
ahl al-‘adl dalam arti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan, dan juga
ahl al-Tauhid wa al-‘adl, golongan yang mempertahankan ke-esaan murni dan
keadilan Tuhan. [6]
C.
Faktor Pendorong
Lahirnya aliran Mu’tazilah
1. Kota Basrah yang merupakan pusat ilmu dan peradaban islam dan
merupakan tempat bertemunya aneka kebudayaan asing disamping bertemunya
bermacam-macam agama.
2. Banyaknya orang-orang yang hendak menghancurkan islam dari segi
akidah baik mereka menamakan dirinya islam maupun tidak
3. Pengaruh di masjid Basrah yang berbentuk halaqah (lingkaran
pelajaran) di bawah asuhan Hasan Basri digelari Abu Sa’id (21-110 H / 642 – 728
M).[7]
D.
Dasar-dasar dan
ajaran-ajaran Mu’tazilah
Abu Al-Hasan al-Khayyath dalam bukunya al-intisar menyatakan
“tak seorang pun berhak mengaku sebagai penganut Mu’tazilah sebelum ia
mengetahui al-ushul al-khamsah (lima pokok ajaran) sebagai dasar pemikiran
pahamnya yaitu:
1. Al-Tauhid
2. Al-‘Adl
3. Al-Wa’d wa al-wa’id
4. Al-Manzilah bain al-Manzilatain
5. Al-‘Amr bi al-ma’ruf wa an-nah’yan al-munkar.[8]
1. Al-Tauhid
At-Tauhid adalah mengesakan Tuhan. Tuhan dikatakan Maha Esa.[9]
Tuhan dalam faham mereka, akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan
suatu zat yang unik, tidak yang serupa dengan Dia. Mereka mendak paham
antropomorphisme yaitu paham yang menggambarkan Tuhan dekat menyerupai
makhluk-Nya. Mereka juga mendak beatific vision, yaitu bahwa Tuhan dapat
dilihat manusia dengan mata kepalanya. Satu-satunya sifat Tuhan yang
betul-betul tidak mungkin ada pada makhluk-Nya ialah sifat Qadim.
Kaum Mu’tazilah membagi sifat tuhan kedalam dua golongan:
a. Sifat-sifat yang merupakan esensi dan disebut sifat zatlah
b. Sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan tuhan yang
disebut sifat fi’liah
2. Al-‘Adl
Dengan Al-‘adl kaum Mu’tazilah ingin mensucikan perbuatan
tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat
adil, tuhan tidak bisa berbuat zalim
3. Al-Wa’d wa al-wa’id
Tuhan tidak dapat disebut adil, jika ia tidak memberi pahala
kepada orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat
buruk, keadilan menghendaki supaya orang yang bersalah diberi hukuman dan orang
yang berbuat baik diberi upah. Sebagaimana dijanjikan tuhan.
4. Al-Manzilah bain al-Manzilatain
Posisi menengah bagi pembuat dosa besar, juga erat
hubungannya dengan keadilan Tuhan. Pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia
masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad, tetapi bukanlah mukmin karena
imannya tidak lagi sempurna.
5. Al-‘Amr bi al-ma’ruf wa an-nah’yan al-munkar
Perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat, dianggap sebagai
kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi juga oleh golongan umat Islam
lainnya.
Menurut wasil ibn Ata’ tiga ajaran-ajaran dalam Mu’tazilah
diantaranya adalah :
a. Ajaran Pertama
Faham al-Manzilah bain al-Manzilatain, posisi diantara dua
posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar
bukan kafir dan bukan pula mukmin tetapi fasiq.
b. Ajaran yang kedua
Faham qadariyah yang dianjurkan oleh Ma’bad dan Ghailan.
Tuhan, kata Wasil bersifat bijaksana dan adil. Ia tak dapat berbuat jahat dan
berbuat zalim. Tidak mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal-hal
yang bertentangan dengan perintah-Nya.
c. Ajaran yang ketiga
Mengambil bentuk penilaian sifat-sifat Tuhan dalam arti bahwa
apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud
tersendiri di luar zat Tuhan, tetapi sifat yang merupakan esensi Tuhan.[10]
E.
Tokoh-tokoh Aliran
Mu’tazilah
1. Washil bin Atha’
Washil bin Atha’ lahir sekitar tahun 70 H di Madinah
beliau pindah ke Bashrah dan berguru dengan Hasan al Bashri, seorang tokoh
ulama besar yang sangat terkenal. Ketika belajar dengan Hasan al Bashri inilah
ia pertama kali melontarkan pendapat yang berbeda denagn gurunya sehingga ia
dan pengikutnya disebut Mu’tazilah.
Pokok-pokok ajaran teologis Washil bib Atha’ dapat
disimpulkan pada tiga hal penting: masalah muslim yang membuat dosa besar,
kekuasaan berbuat bagi manusia (free will) dan tentang sifat Tuhan.
Tentang muslim yang berbuat dosa besar, sebagaimana
dikemukakan terdahulu, Washil bin Atha’ berpendapat, orang itu tidak mukmin dan
tidak pila kafir, tapi fasiq. Kedudukannya berada diantara mukmin dan kafir (al-manzilah
bain al-manzilatain), dengan klasifikasi tersendiri.
Tentang sifat Allah, Washil menolak paham bahwa
Tuhan memiliki sifat. Menurut Washil Tuhan tidak mempunyai sifat. Apa yang
dianggap seorang sebagai sifat tidak lain kecuali zat Allah itu sendiri. Tuhan
mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan pengetahuan-Nya itu adalah zat-Nya.
Tuhan mendengar dengan pendengaran-Nya, dan pendengaran-Nya adalah zat-Nya, dan
seterusnya. Jadi Tuhan mendengar bukan dengan sifat sama’_Nya, Tuhan
melihat bukan dengan sifat bashar-Nya, dan seterusnya, tapi dengan
zat-Nya.
2. Abu Huzail Al Allaf
Tokoh ini lahir pada tahun 135 H/751 M dan wafat
tahun 235 H/849 M. ia merupakan generasi kedua Mu’tazilah. Tokoh inilah yang
mengintrodusir dan menyusun dasar-dasar paham Mu’tazilah yang lima (al Ushul
al Khamsah). Ia berguru dengan Usman al Thawil, murid Washil bin Atha’.
Berbeda dengan Washil, Abu Huzail al Allaf lahir
dalam situasi ilmu pengetahuan yang maju pesat. Ketika itu, buku-buku Yuanani,
baik filsafat maupun ilmu pengetahuan lainnya, banyak diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Pengaruh Yunani ini sedikit banyak terbawa dalam pemikiran
teologis Abu Huzail.
3. Al-Nazzam
Nama lengkapnya Ibrahim bin Sayyar, tapi ia lebih
dikenal dengan sebutan Al-Nazzam. Ia adalah salah seorang murid Abu Huzail al
–Allaf. Pada waktu kecil ia banyak bergaul dengan orang-orang non-muslim dan
setelah dewasa ia banyak bergaul dengan para ahli filsafat serta mempelajari
dan menekuni ilmu ini.
4. Al-Jubba’i
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab. Ia
lahir tahun 235 H/849 M di Juba’, wafat tahun 303 H/915 M di Bashrah.
Situasi politik pada zamannya tidak stabil.
Gerakan-gerakan separatis di daerah bermunculan dan dinasti-dinasti kecil lahir
di mana-mana sehingga kekuasaan pemerintah pusat jauh menurun dan kewibawaannya
berkurang. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan tetap berkembang pesat, sebab
masing-masing dinasti kecil yang menguasai beberapa daerah juga tetap turun
memajukan ilmu pengetahuan. Di samping itu, para ilmuwan tidak banyak
berpengaruh terhadap situasi dan kondisi politik. Al-Jubba’i berguru dengan
al-Syahsam, salah seorang murid Abu Huzail al Allaf.[11]
F. Karya dan Pokok Pikiran Yang dihasilkan Para Tokoh Aliran Mu’tazilah
Selain sebagai
tokoh yang berperan penting dalam aliran mu’tazilah, para tokoh aliran
mu’tazilah pun mempunyai kemampuan luar diantara karya-karaya para tokoh aliran
mu’tazilah adalah sebagai berikut :
1.
Karya-karya Wasil bin
’Atha’ antara lain
b.
Al-Alf masalah fi ar-Rodi’
ala al munawiyah
c.
Al manzilat bainal
manzilatain
d.
Al-khattab fi al-adl wa
at-tauhid
e.
As sabil ila ma’rifat
al-haq
f.
Ma’ani al-qur’an
g.
Kitab at tauhid
h.
Al futuya
2. Abu Huzail al-Allaf
Berbeda dengan Wasil bin ’Atha’, karya Abu Huzail
al-allaf dalam bentuk pemikiran-pemikiran diantaranya :
a.
Tentang aradl, dinamakan
aradl bukan karena mendatang pada benda-benda, karena banyak aradl yang
terdapat bukan pada benda, seperti waktu, abadi dan hancur.
b.
Menetapkan adanya
bagian-bagian yang tidak dapat dibagi-bagi lagi
c.
Gerak dan alam
d.
Hakikat manusia, hakikatnya
adalah badan, bukan jiwanya
e.
Gerak penghuni surga dan
neraka
f.
Qadar
3. Al-Nazzam
Pokok-pokok pikiran Al-Nazzam diantaranya:
a. Tentang benda (jisim), selain gerak. Semuanya yang ada disebut
jisim, termasuk bau, warna dsb.
b. Tidak mengakui adanya bagian yang tidak dapat dibagi-bagi
c. Teori lompatan (tafrah) yaitu bahwa sesuatu benda dapat berada
pada tempat pertama, kedua, kemudian langsung kepada ketempat ke-10
d. Tidak ada diam, pada hakekatnya semua yang ada bergerak
e. Hakikat manusia, hakikatnya adalah jiwanya bukan badannya.
f. Berkumpulnya kontradiksi dalam suatu tempat, menunjukkan adanya
Allah
g. Teori sembunyi (kumun)
Allah menciptakan makhluk sekaligus dalam waktu yang
sama.
h. Berita yang benar adalah terletak dalam pemberitaan hal-hal yang
gaib
4. Jubba’i
a.
Al-Qur’an itu hadits
(baru), karena kalamullah itu diciptakan oleh Allah yang terdiri dari susunan
huruf-huruf dan suara
b.
Wajib bagi akal untuk
mengetahui dan bersyukur kepada Allah demikian pula akal wajib mengetahui
perbuatan baik dan buruk
c.
Allah tidak dapat dilihat
di akhirat nanti, karena Allah tidak berjisim dan berarah.[12]
IV.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Mu’tazilah
adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam
dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij
dan Murji’ah. Aliran mu’tazilah ini sudah ada sejak
zaman kepemimpinan khulafaur rasidin Ali Bin Abi Tholib.
Munculnya aliran mu’tazilah ini juga
didorong oleh 3 faktor, yaitu:
A.
Kota Basrah
yang merupkan pusat ilmu dan peradaban islam dan merupakan tempat bertemunya
aneka kebudayaan asing disamping bertemunya bermacam-macam agama.
B.
Banyaknya
orang-orang yang hendak menghancurkan islam dari segi aqidah baik mereka
menamakan dirinya islam maupun tidak
C.
Pengaruh di
masjid Basrah yang berbentuk halaqoh (lingkaran\ pelajaran) dibawah asuhan
Hasan Basri di gelari Abu Sa’id (21-110 H/642-728 M)[13]
Diantara tokoh-tokoh yang berperan dalam aliran mu’tazilah diantaranya
Washil bin Atha’, Abu Huzail al-Allaf, Al-Nazzam, Al-Jubba’I dan sebagai tokoh
nag berperan penting mereka juga menghasilkan karya-karya dan pokok-pokok
pikiran yang luar biasa.
Dalam aliran mu’tazilah mengenal 5 pokok ajaran atau yang
disebut al-ushul al-khamsah sebagai dasar pemikiran pahamnya diantaranya
a.
Al-tauhid
b.
Al-‘Adl
c.
AL-Wa’id
d.
Al-Manazlah
bain al- Manzilatain
e.
Al-‘amr bi
al-ma’ruf wa an nah’yan al-munkar
V.
PENUTUP
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah swt yang telah
memberikan kesehatan sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini. Tentunya
makalah ini tidak pernah lepas dari kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun kepada
kami demi kebaikan bersama. Semoga sedikit ulasan mengenai Mu’tazilah diatas
dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin,
M., Ilmu Kalam, Sejarah dan Aliran-aliran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar:
2004
Mutohar, Ahmad, Teologi Islam Konsep
Iman, antara Mu’tazilah dan Asyari’ah, Yogyakarta: Teras, 2008
Nasution,
Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:
UI, 1972
Nasution, Harun, Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI, 1972
Watt, W. Montromery, Studi Islam Klasik, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1999
[1]
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:
UI, 1972)
[2] M.
Muhaimin, Ilmu kalam sejarah dan Aliran-aliran, (Semarang: IAIAN Press.
1999)
[3]
W. Montromery Watt, Studi Islam Klasik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999)
[4]
Harun Nasution, op.cit.,
[5]
Ahmad Mutohar, Teologi Islam Konsep Iman, antara Mu’tazilah dan Asyari’ah, (Yogyakarta:
Teras, 2008)
[6]
Harun Nasution, op.cit.,
[7] M
Muhaimin, op.cit
[8]
Ahmad Muthohar
[9]
Ibid.
[10]
Harun Nasution, op.cit.
[11] M
Muhaimin, op.cit hlm.
117-119
[12] ibid
[13] Ibid
0 komentar:
Posting Komentar