-->

BINTANG

Senin, 14 Mei 2012

MAKALAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM

PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

I.                   PENDAHULUAN
      Dengan berpijak pada paradigma “ belajar sepanjang masa”, maka istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik dan bukan anak didik. Peserta didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa. Sementara istilah anak didik hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya di sekolah ( pendidikan formal), tapi juga lembaga pendidikan di masyarakat, seperti Majelis Taklim, Paguyuban, dan sebagainya.
      Sama halnya dengan teori Barat, peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.[1] Dalam hal ini, peserta didik merupakan individu yang belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat sekitarnya, dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.
             
II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Definisi Peserta Didik dalam Pendidikan Islam?
2.      Bagaimana Paradigma Peserta Didik dalam Pendidikan Islam?
3.      Apa Saja Sifat- sifat dan Kode Etik Peserta Didik dalam Pendidikan Islam?

III.             PEMBAHASAN
1.      Definisi Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
      Dalam istilah tasawuf, peserta didik sering kali disebut dengan murid atau thalib. Secara etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual ( mursyid). Sedangkan thalib secara bahasa berarti orang yang mencari, sedang menurut istilah tasawuf adalah penempuh jalan spiritual, dimana ia berusaha keras menempah dirinya untuk mencapai derajat sufi.[2] Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik pada sekolah tingkat dasar dan menengah, sementara untuk perguruan tinggi lazimnya disebut dengan mahasiswa ( thalib).
      Istilah murid atau thalib ini sesungguhnya memiliki kedalaman makna dari pada penyebutan siswa. Artinya, dalam proses pendidikan itu terdapat individu yang secara sungguh- sungguh menghendaki dan mencari ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa istilah murid dan thalib menghendaki adanya keaktifan pada peserta didik dalam proses belajar mengajar, bukan pada pendidiknya. Namun, dalam pepatah dinyatakan : “ tiada tepuk sebelah tangan”. Pepatah ini mengisyaratkan adanya active learning bagi peserta didik dan active teaching bagi pendidik, sehingga kedua belah pihak menjadi “ gayung bersambung” dalam proses pendidikan agar tercapai hasil secara maksimal.
                       
2.      Paradigma Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik harus sedapat mungkin memahami hakikat peserta didiknya sebagai subjek dan objek pendidikan. Kesalahan dalam memahami hakikat peserta didik menjadikan kegagalan dalam proses pendidikan. Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah :[3]
Ø  Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan dengan orang dewasa. Orang dewasa tidak patut mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi segala aturan dan keinginannya, sehingga peserta didik kehilangan dunianya, maka hal itu dapat menjadikan kehampaan hidup di kemudian hari.
Ø  Peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin.
Kebutuhan individu, menurut Abraham Maslow, terdapat 5 hierarki kebutuhan yang dikelompokkan kedalam 2 kategori, yaitu:
1)      Kebutuhan- kebutuhan taraf dasar ( basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki  (sosial) dan harga diri.
2)      Metakebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, dan kesatuan. Pemenuhan kebutuhan manusia memiliki tingkat kesulitan yang hierarkis. Kebutuhan yang berada pada hierarki paling bawah akan mudah dicapai oleh semua manusia, namun kebutuhan yang berada pada hierarki paling atas tidak semua dicapai oleh manusia. Pemenuhan kebutuhan yang dapat mengakibatkan kepuasan hidup adalah pemenuhan metakebutuhan, sebab pemenuhan kebutuhan ini untuk pertumbuhan yang timbulnya dari luar diri (eksternal). Sedangkan, pemenuhan kebutuhan dasar hanya diakibatkan kekurangan yang berasal dari dalam diri ( internal).
Ø  Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari faktor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, inteligensi, sosial, bakat, minat dan lingkungan yang memengaruhinya. Dalam teori psikologi,[4] terdapat tiga bagian tentang individu : seperti semua orang lain, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang sama satu dengan yang lain; seperti sejumlah orang lain, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang berbeda antara anak yang umum (kecerdasannya rata-rata) dengan yang khusus (sangat cerdas/ bodoh); seperti tidak seorang lain pun, yang karenanya perlu perlakuan pendidikan yang berbeda antara individu satu dengan yang lain.
Ø  Peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai dengan hakikat manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi peserta didik walaupun terdiri dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa, dan karsa)
Ø  Peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik memiliki aktivitas sendiri (swadaya) dan kreativitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam pendidikan tidak memandang anak sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima dan mendengarkan saja.
Ø  Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam pendidikan adalah bagaimana proses pendidikan itu dapat disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan peserta didik. Kadar kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh usia atau periode perkembangannya, karena usia itu bisa menentukan tingkat pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik, baik dilihat dari dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktis. Dalam psikologi perkembangan disebutkan bahwa periodesasi manusia pada dasarnya dibagi menjadi lima tahapan, [5] yaitu:
·         Tahap Asuhan ( usia 0-2 tahun)
      Pada tahap ini, individu belum memiliki kesadaran dan daya intelektual, ia hanya mampu menerima rangsangan yang bersifat biologis dan psikologis melalui air susu ibunya. Pada fase ini belum dapat diterapkan interaksi edukasi secara langsung, karena itu proses edukasi dapat dilakukan dengan cara: memberi azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri ketika baru lahir, memotong akikah, dua kambing untuk bayi laki-laki dan satu kambing untuk bayi perempuan, memberi nama yang baik, membiasakan hidup yang bersih, suci dan sehat, memberi ASI sampai usia 2 tahun, memberi makanan dan minuman yang halal dan bergizi (thayyib).
·         Tahap Pendidikan Jasmani dan Pelatihan Pancaindra (usia 2-12 tahun)
      Pada tahap ini, anak mulai memiliki potensi-potensi biologis, paedagogis, dan psikologis. Karena itu, pada tahap ini mulai diperlukan adanya pembinaan, pelatihan bimbingan, pengajaran, dan pendidikan yang disesuaikan dengan bakat dan kemampuannya. Proses pembinaan dan pelatihan lebih efektif lagi bila anak telah menginjak usia sekolah dasar.
Hal tersebut karena pada fase ini, anak mulai aktif dan memfungsikan potensi-potensi inderanya walaupun masih pada taraf pemula. Proses edukasi dapat diterapkan dengan penuh kasih sayang. Perintah dan larangan disajikan dalam bentuk cerita-cerita yang menarik dan memberikan kesimpulan untuknya, serta melatih anak untuk melakukan aktivitas positif yang dapat membiasakan dirinya dengan baik bila kelak menginjak fase berikutnya, seperti pepatah Arab yang menerangkan:
مَنْ شَبَّ عَلَى شَيْئٍ شَا بَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang membiasakan sesuatu (di hari mudanya), maka ia akan terbiasa olehnya (di hari tuanya)”.
      Tugas pendidikan pada fase ini adalah menumbuhkan potensi-potensi indra dan psikologis, seperti pendengaran, penglihatan, dan hati nurani. Tugas orang tua adalah bagaimana mampu merangsang pertumbuhan berbagai potensi tersebut, agar anaknya mampu berkembang secara maksimal. Firman Allah SWT : “Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, dan ia memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati sanubari agar kamu mau bersyukur.”
      Mempersiapkan diri dengan cara membiasakan dan melatih hidup yang baik, seperti dalam berbicara, makan, bergaul, penyesuaian diri dengan lingkungan dan berperilaku.
·         Tahap Pembentukan Watak dan Pembentukan Agama (usia 12-20 tahun)
Fase ini disebut juga fase tamyiz, yaitu fase dimana anak mulai mampu membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah . Atau fase baligh (mukallaf) dimana ia telah sampai berkewajiban memikul beban taklif Allah SWT.
Tugas pendidikan adalah mengubah persepsi konkret peserta didik menuju pada persepsi yang abstrak, misalnya persepsi mengenai ide-ide ketuhanan, alam akhirat dan sebagainya. Pengembangan ajaran-ajaran normatif agama melalui institusi sekolah, baik yang berkenaan dengan aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik
·         Tahap Pematangan (usia 20-30 tahun)
      Pada tahap ini, anak telah beranjak dewasa, yaitu dewasa dalam arti sebenarnya, mencakup kedewasaan biologis, sosial, psikologis, dan kedewasaan religius. Pada fase ini mereka sudah mempunyai kematangan dalam bertindak, bersikap, dan mengambil keputusan untuk menentukan masa depannya sendiri.
      Oleh karena itu, proses edukasi dapat dilakukan dengan memberi pertimbangan dalam menentukan teman hidupnya yang memiliki ciri mukafaah (ideal) dalam aspek agama, ekonomi, sosial dan sebagainya. Pemilihan pasangan hidup yang ideal akan mencetak calon pendidik di rumah tangga kelak yang bertanggungjawab atas pendidikan anak kandung di rumah.[6]
·         Tahap Kebijaksanaan (30-meninggal)
      Menjelang meninggal, fase ini lazimnya disebut fase azm al –‘umr (lanjut usia) atau syuyukh (tua).
Pada tahap ini, manusia telah menemukan jati dirinya secara hakiki, sehingga tindakannya penuh dengan kebijaksanaan yang mampu memberi naungan dan perlindungan bagi orang lain. Proses edukasi bisa dilakukan dengan cara mengingatkan agar mereka berkenan bersedekah atau zakat apabila ia lupa, serta mengingatkan harta dan anak yang dimiliki agar selalu didarmabaktikan kepada agama, negara, dan masyarakat sebelum menjelang hayatnya.

3.      Sifat- sifat dan Kode Etik Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
      Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman,[7] merumuskan sebelas pokok sifat dank ode etik peserta didik, yaitu:
·         Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahalli).
·         Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi. Maksudnya, belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan manusia dan Allah SWT.
·         Bersikap tawadlu’(rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidiknya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidiknya, termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.
·         Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
·         Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrawi maupun untuk duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah, sementara ilmu tercela akan menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan permusuhan antarsesamanya.
·         Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardlu ‘ain menuju ilmu yang fardlu kifayah.
·         Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Dalam konteks ini,spesialisasi jurusan diperlukan agar peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus.
·         Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
·         Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah SWT.,sebelum memasuki ilmu duniawi.
·         Mengenal ilmu-ilmu pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan, menyejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.
·         Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit kepada dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode madzhab yang diajarkan oleh pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik untuk mengikuti kesenian yang baik.

Menurut Ibnu Jama’ah, yang dikutip oleh Abd al-Amir Syams al-Din, [8] etika peserta didik terbagi atas tiga macam, yaitu: 1. Terkait dengan diri sendiri, meliputi membersihkan hati, memperbaiki niat atau motivasi, memiliki cita-cita dan usaha yang kuat untuk sukses, zuhud ( tidak materialistis). Dan penuh kesederhanaan; 2. Terkait dengan pendidik, meliputi patuh dan tunduk secara utuh memuliakan dan menghormatinya, senantiasa melayani kebutuhan pendidik dan menerima segala hinaan atau hukuman darinya; 3. Terkait dengan pelajaran, meliputi berpegang teguh secara utuh pada pendapat pendidik, senantiasa mempelajarinya tanpa henti, mempraktikan apa yang dipelajari dan bertahap dalam menempuh suatu ilmu.
Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan. Syarat yang dimaksud sebagaimana dalam syairnya:[9]
اَلاَلاَ تَنَا لُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِسِتَّةٍ
سَاُ نْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَا نٍ
ذُكَا ءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ
وَاِرْشَا دِ اُسْتَا ذٍ وَطُوْلِ الزَّ مَا نٍ
“Ingatlah! Engkau tidak akan bisa memperoleh ilmu kecuali karena enam syarat; aku akan menjelaskan keenam syarat itu padamu, yaitu kecerdasan, hasrat atau motivasi yang kuat, sabar, modal (sarana), petunjuk guru, dan masa yang panjang (kontinu)”.
     
      Dari syair tersebut dapat dipahami bahwa syarat-syarat pencari ilmu adalah mencakup enam hal, yaitu:
a.       Memiliki kecerdasan (dzaka’); yaitu penalaran, imajinasi, wawasan (insight), pertimbangan, dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang dilakukan secara cepat dan tepat. Kemudian, kecerdasan berkembang menjadi tiga pengertian, diantaranya: 1. Kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif; 2. Kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif, yang meliputi empat unsur, seperti memahami, berpendapat, mengontrol, dan mengkritik; 3. Kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali.[10] 
b.      Memiliki hasrat (hirsh), yaitu kemauan, gairah, moril, dan motivasi yang tinggi dalam mencari ilmu, serta tidak merasa puas terhadap ilmu yang diperolehnya. Sedangkan motivasi pendidikan disini adalah keseluruhan dorongan, keinginan, kebutuhan, dan daya yang sejenis yang mengarahkan perilaku dalam pendidikan. Motivasi pendidikan juga diartikan sebagai satu variabel penyelang yang digunakan untuk menimbulkan faktor-faktor tertentu di dalam organisme yang membangkitkan, mengelola, mempertahankan, dan menyalurkan tingkah lakumenuju satu sasaran pendidikan.
c.       Bersabar dan tabah (ishtibar) serta tidak mudah putus asa dalam belajar, walaupun banyak rintangan dan hambatan. Sabar menjadi kunci bagi keberhasilan dalam belajar, karena sabar merupakan inti dari kecerdasan tidak dibarengi oleh kecerdasan emosional ( seperti sabar) maka ia tidak memperoleh apa-apa.
d.      Mempunyai seperangkat modal dan sarana (bulghah) yang memadai dalam belajar. Dalam hal ini, biaya dan dana pendidikan menjadi penting, yang digunakan untuk kepentingan peserta didik. Perolehan ilmu bukan didapat secara gratis, karena profesionalisme pendidikan melibatkan sejumlah kegiatan dan sarana yang membutuhkan biaya.
e.       Adanya petunjuk pendidik (irsyad ustadz), sehingga tidak terjadi salah pengertian terhadap apa yang dipelajari. Dalam belajar, seseorang dapat melakukan metode autodidak, yaitu belajar secara mandiri tanpa bantuan siapapun. Sekalipun demikian, pendidikan masih tetap berperan pada peserta didik dalam menunjukkan bagaimana metode belajar yang efektif berdasarkan pengalaman sebagai seorang dewasa, serta yang terpenting pendidik sebagai sosok yang perilakunya sebagai suri teladan bagi peserta didik.
f.       Masa yang panjang (thuwl al-zaman), yaitu belajar tiada henti dalam mencari ilmu (no limits to study) sampai pada akhir hayat, min mahdi ila lahdi (dari buaian sampai liang lahat). Syarat ini berimplikasikan bahwa belajar tidak hanya di bangku kelas atau kuliah, tetapi semua tempat yang menyediakan informasi tentang pengembangan kepribadian, pengetahuan, dan keterampilan adalah termasuk juga lembaga pendidikan.  

IV.             KESIMPULAN
      Dari hasil pemaparan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa:
V.                PENUTUP
      Demikian makalah ini kami buat, mudah-mudahan dengan adanya makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat bagi kita semua. Untuk kesempurnaan makalah ini, kami selaku pemakalah mengharap kritik dan saran yang membangun untuk makalah yang lebih baik selanjutnya.
      Kami selaku pemakalah mohon maaf atas kekurangan dan kesempurnaan makalah ini. Untuk perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Zarnuzi, Burhan Al-Islam. Terjemah Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq al-Ta’allum. Surabaya: Salim Nabhan.t.th.. Hal.15.

Amstrong, Amatullah. Khazanah Istilah Sufi : Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung : Mizan. 1998. Hal. 197.

Chaplin,J.P. Kamus Lengkap Psikologi. terj. Kartini Kartono. judul asli : Dictionaryof Psychology. Jakarta : Rajawali Pers. 1999. Hal. 253.

Nawawi, Hadari. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta : Haji Masagung. 1985. Hal. 128.

Supratiknya, A. Teori-teori Psikodinamik. Yogyakarta : Kanisius. 1993. Hal. 5.

Suwarno. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta : Aksara Baru. 1982. Hal. 79- 85.

Zainuddin dkk. Seluk- Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta : Bumi Aksara. 1991. Hal. 69.



[1] Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas, Jakarta : Haji Masagung, 1985, Hal. 128.
[2] Amatullah Amstrong, Khazanah Istilah Sufi : Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Bandung : Mizan, 1998, Hal. 197.
[3] Suwarno, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta : Aksara Baru, 1982, Hal. 79- 85.
[4] A. Supratiknya, Teori-teori Psikodinamik, Yogyakarta : Kanisius, 1993, Hal. 5.
[5] Zainuddin dkk., Seluk- Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta : Bumi Aksara, 1991, Hal. 69.
[6] Ibid, Hal. 75.
[7] Fathiyah Hasan Sulaiman, al-Madzhab al-Tarbawi ‘Inda al-Ghazali, Kairo: Maktabah Misriyah, 1964, Hal.52-58.
[8] Abd Al-Amir Syams  Al-Din, al Madzhab al Tarbawi ‘Inda Ibnu Jama’ah, Beirut: Dar Iqra’, 1984, Hal. 28-40.
[9] Burhan Al-Islam Al-Zarnuzi, Terjemah Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq al-Ta’allum, Surabaya: Salim Nabhan,t.th., Hal.15.
[10] J.P.Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, judul asli : Dictionaryof Psychology, Jakarta : Rajawali Pers, 1999, Hal. 253.

0 komentar: